Sabtu, 14 Januari 2017

Usap Air Matamu Nak



Enam tahun yang lalu, tepatnya tanggal 20 Juli 2010 aku meninggalkan kampung halamanku. Dari Bekasi menuju sebuah desa yang berada di Pandeglang. Bersama empat temanku, kami mantapkan niat jauh-jauh hari  untuk terus melangkah dengan pasti. Walau sedih rasanya meninggalkan keluarga, tapi kami yakin karena inilah jalan yang terbaik dari-MU. Kepergianku bukanlah untuk bersenang-senang kali ini. Melainkan untuk menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren yang bernama Ibad Ar Rahman.
Teringat akan pesan ibu sebelum aku pergi ke pondok, “le, kamu pilih mau sekolah di sekolah umum tapi harus tetap mengaji, atau kamu mau sekolah di sekolah umum tapi tidak boleh lagi bermain game online, atau kamu pilih mondok saja sama teman-temanmu.”
Ibu memojokkanku dengan pilihan-pilihannya yang menurutku terlalu berlebihan. Aku terus membayangkan tiap kali ibu bilang ini padaku. Tapi, setiap kali aku membayangkan setiap kali pula aku pusing, bingung, gelisah harus pilih yang mana. Aku tak mau mengaji lagi di sana, apalagi harus meninggalkan keahlianku dalam bermain game online.
“Aarghhh,” aku benar-benar bingung harus pilih yang mana.
“Mondok, santri,” kenapa ibu menyuruhku ke sana, dalam benakku terus berpikir.
Apakah aku termasuk anak yang nakal? Atau ibu memang ingin menyingkirkan anaknya jauh dari pelukannya. Aku belum terlalu tahu apa arti pondok itu sebenarnya, yang kutahu pondok  hanyalah tempat dimana kita selalu disuruh melakukan ini itu, dan makan dengan seadanya saja. Aku tidak mau diperlakukan seperti itu, yang tiap hari selalu dikekang layaknya domba yang selalu digiring menuju kandang oleh penggembalanya.
Sehari sebelum keberangakanku, aku sedih bukan main. Air mata menumpahi pipiku secara perlahan. Tak tahu harus bagaimana lagi, antara keterpaksaan dan kemauan sendiri. Ibu menghampiriku, memelukku seraya berkata, “ibu tahu kamu pasi kuat kok, ini langkah barumu dalam mengartikan kehidupan.” Sambil mengusap air mataku, ibu tersenyum padaku.
***
Pagi ini terasa sejuk berada di saung seorang diri.  Ditemani angin yang bersemilir kecil, burung-burung terbang kian kemari di bawah sengatan matahari pagi. Sambil terus menikmati kopi hangat aku merenungi kejadian tiga tahun silam. Awal aku menjadi santri, awal aku masih belum paham maksud dari ucapan ibu yang menyuruhku mondok.
Ah, aku tak mau terus terbawa hanyut dalam masa lalu. Masa lalu hadir untuk memperbaiki masa depan. Segera ku beranjak dari tempat duduk dan pergi ke asrama menemui teman-teman seperjuangan.
“Ri, antum sudah selesai ujian tahfidznya?” kata Ammar, salah satu teman  asramaku.
“Belum, baru beberapa juz.  Lah emang antum sudah.” Kataku, sambil merapihkan buku-buku.
“Oh, kirain sudah. Ana juga belum sih, masih banyak malah, hehe.” Ucap Ammar.
“Gak apa-apa, yang penting tetap semangat.” Kataku sambil memberi jempol untuknya.
“Sip deh, Kalau mau pulang kan harus selesai juga.” Sambil menunjukkan jempolnya untukku, Ammar meninggalkanku, pergi ke masjid.
Kubuka jendela kamarku, sambil sesekali melirik bangunan-bangunan pondok yang megah. Ternyata sudah tiga tahun aku berada di sini. Tak terasa sebentar lagi aku akan meninggalkan suasana pondok yang selalu membuatku damai tatkala berada di dalamnya.
Sekarang Pondok Pesantren sudah menjadi bagian keluarga baruku, sudah menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Banyak pelajaran berarti yang tidak akan pernah terlupakan di sini. Mungkin benar apabila kita masih di pondok selalu mengeluh ingin pulang atau tak betahlah. Tapi nyatanya setelah keluar kitalah yang akan merindukan pondok, rindu akan suasana kebersamaan yang sulit digambarkan.
Inilah pondokku. Sebuah tempat yang sudah membentuk kepribadian dan tingkah lakuku menjadi seperti sekarang ini. Terima kasih semua yang sudah membimbing dan mendukung disetiap lika-liku santrimu. Ustadz-ustadz yang tak pernah lelah mendidik kami dengan penuh kesabaran dan keikhlasannya, semoga Allah balas jasa-jasamu dengan balasan yang setimpal.
Akhirnya aku mengerti bu, aku paham betul mengapa engkau menyuruhku mondok? Aku paham sekarang, kenapa kau bersikeras menuntutku untuk menjadi santri? Tak lain karena kau menginginkan anakmu tumbuh dewasa dengan akhlak yang mulia dan tetap pada rambu-rambu islam yang sudah ditetapkan.
Sekarang aku sudah besar bu, sudah waktunya bagiku untuk melangkah lebih jauh lagi. Aku tak ingin menangis lagi untuk hal-hal yang kecil, tapi yang kuinginkan adalah tetesan air mata dalam do’amu, agar raga ini tak terseat di jalan yang salah. Semoga anakmu ini tumbuh menjadi orang besar yang kelak bisa menjadi pemimpin bangsa yang adil dan sesuai dengan tuntunan syariat islam. I love you mom:*.


About the Author

ari

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

Posting Komentar

 
Arrie Saputro © 2015 - Designed by Templateism.com | Distributed By Blogger Templates