Enam tahun yang lalu, tepatnya
tanggal 20 Juli 2010 aku meninggalkan kampung halamanku. Dari Bekasi menuju sebuah
desa yang berada di Pandeglang. Bersama empat temanku, kami mantapkan niat
jauh-jauh hari untuk terus melangkah
dengan pasti. Walau sedih rasanya meninggalkan keluarga, tapi kami yakin karena
inilah jalan yang terbaik dari-MU. Kepergianku bukanlah untuk bersenang-senang
kali ini. Melainkan untuk menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren yang bernama
Ibad Ar Rahman.
Teringat akan pesan ibu sebelum aku
pergi ke pondok, “le, kamu pilih mau sekolah di sekolah umum tapi harus tetap
mengaji, atau kamu mau sekolah di sekolah umum tapi tidak boleh lagi bermain
game online, atau kamu pilih mondok saja sama teman-temanmu.”
Ibu memojokkanku dengan
pilihan-pilihannya yang menurutku terlalu berlebihan. Aku terus membayangkan
tiap kali ibu bilang ini padaku. Tapi, setiap kali aku membayangkan setiap kali
pula aku pusing, bingung, gelisah harus pilih yang mana. Aku tak mau mengaji
lagi di sana, apalagi harus meninggalkan keahlianku dalam bermain game online.
“Aarghhh,” aku benar-benar bingung harus pilih
yang mana.
“Mondok, santri,” kenapa ibu
menyuruhku ke sana, dalam benakku terus berpikir.
Apakah aku termasuk anak yang nakal?
Atau ibu memang ingin menyingkirkan anaknya jauh dari pelukannya. Aku belum
terlalu tahu apa arti pondok itu sebenarnya, yang kutahu pondok hanyalah tempat dimana kita selalu disuruh
melakukan ini itu, dan makan dengan seadanya saja. Aku tidak mau diperlakukan
seperti itu, yang tiap hari selalu dikekang layaknya domba yang selalu digiring
menuju kandang oleh penggembalanya.
Sehari sebelum keberangakanku, aku
sedih bukan main. Air mata menumpahi pipiku secara perlahan. Tak tahu harus
bagaimana lagi, antara keterpaksaan dan kemauan sendiri. Ibu menghampiriku,
memelukku seraya berkata, “ibu tahu kamu pasi kuat kok, ini langkah barumu
dalam mengartikan kehidupan.” Sambil mengusap air mataku, ibu tersenyum padaku.
***
Pagi ini terasa sejuk berada di saung
seorang diri. Ditemani angin yang
bersemilir kecil, burung-burung terbang kian kemari di bawah sengatan matahari
pagi. Sambil terus menikmati kopi hangat aku merenungi kejadian tiga tahun
silam. Awal aku menjadi santri, awal aku masih belum paham maksud dari ucapan
ibu yang menyuruhku mondok.
Ah, aku tak mau terus terbawa hanyut
dalam masa lalu. Masa lalu hadir untuk memperbaiki masa depan. Segera ku beranjak
dari tempat duduk dan pergi ke asrama menemui teman-teman seperjuangan.
“Ri, antum sudah selesai ujian
tahfidznya?” kata Ammar, salah satu teman
asramaku.
“Belum, baru beberapa juz. Lah emang antum sudah.” Kataku, sambil
merapihkan buku-buku.
“Oh, kirain sudah. Ana juga belum
sih, masih banyak malah, hehe.” Ucap Ammar.
“Gak apa-apa, yang penting tetap
semangat.” Kataku sambil memberi jempol untuknya.
“Sip deh, Kalau mau pulang kan harus
selesai juga.” Sambil menunjukkan jempolnya untukku, Ammar meninggalkanku,
pergi ke masjid.
Kubuka jendela kamarku, sambil
sesekali melirik bangunan-bangunan pondok yang megah. Ternyata sudah tiga tahun
aku berada di sini. Tak terasa sebentar lagi aku akan meninggalkan suasana
pondok yang selalu membuatku damai tatkala berada di dalamnya.
Sekarang
Pondok Pesantren sudah menjadi bagian keluarga baruku, sudah menjadi satu
kesatuan yang sulit dipisahkan. Banyak pelajaran berarti yang tidak akan pernah
terlupakan di sini. Mungkin benar apabila kita masih di pondok selalu mengeluh
ingin pulang atau tak betahlah. Tapi nyatanya setelah keluar kitalah yang akan
merindukan pondok, rindu akan suasana kebersamaan yang sulit digambarkan.
Inilah
pondokku. Sebuah tempat yang sudah membentuk kepribadian dan tingkah lakuku
menjadi seperti sekarang ini. Terima kasih semua yang sudah membimbing dan mendukung
disetiap lika-liku santrimu. Ustadz-ustadz yang tak pernah lelah mendidik kami
dengan penuh kesabaran dan keikhlasannya, semoga Allah balas jasa-jasamu dengan
balasan yang setimpal.
Akhirnya
aku mengerti bu, aku paham betul mengapa engkau menyuruhku mondok? Aku paham
sekarang, kenapa kau bersikeras menuntutku untuk menjadi santri? Tak lain
karena kau menginginkan anakmu tumbuh dewasa dengan akhlak yang mulia dan tetap
pada rambu-rambu islam yang sudah ditetapkan.
Sekarang
aku sudah besar bu, sudah waktunya bagiku untuk melangkah lebih jauh lagi. Aku
tak ingin menangis lagi untuk hal-hal yang kecil, tapi yang kuinginkan adalah
tetesan air mata dalam do’amu, agar raga ini tak terseat di jalan yang salah. Semoga
anakmu ini tumbuh menjadi orang besar yang kelak bisa menjadi pemimpin bangsa
yang adil dan sesuai dengan tuntunan syariat islam. I love you mom:*.
Posting Komentar